Setahun selepas SMA, aku baru akan kuliah. Banyak buku
panduan cara menghadapi, waktu itu, UMPTN di toko buku. Tetapi tidak ada buku
panduan jurusan apa yang cocok untukku. Tidak dari guru atau orang tua.
Samar-samar bapak mengingatkan, cari jurusan yang nanti kerjanya gampang.
Kebanyakan orang tua tentu berpikir demikian. Buat apa sekolah susah-susah
kalau habis itu Cuma jadi pengangguran, balik lagi menyusahkan mereka.
Ketika mengisi formulir pendaftaran, jariku merunut semua
jurusan yang tertera. Daftarnya panjang dan tulisannya kecil-kecil. Terpikir
untuk mengambil jurusan desain interior. Karena aku suka, dan kedengerannya
keren. Tetapi jariku baru benar-benar berhenti merunut ketika sampai pada
Jurusan Oseanografi Undip. Ada jeda mengambang di udara. Sekian menit. Hmm,
oseanografi. Asin layur dijemur menguar di udara. Rumah berbatu kumbung. Burung
walet. Laki-laki menambal jaring di halaman. Semasa SMP, aku tinggal di pesisir
Lamongan. Tak lama, cuma tiga tahun itu. SMP tuntas, aku pindah.
Oseanografi... Kenapa oseanografi? Karena oseanografi. Udara
laut yang sejuk, sekaligus kering, familier dengan kulitku. Tapi nanti aku
kerja apa? Sebagian teman-teman lelaki-ku berkulit legam, bukan karena mereka
eksotis. Ketika ombak tidak terlalu berbahaya, mereka manyang, melaut, bersama ayah mereka. Mereka bolos sekolah. Apa
mereka tidak khawatir kalau nilai sekolah buruk, mereka akan susah cari kerja?
Atau mereka sudah tahu kalau pekerjaan masa depan ada di hamparan air keperakan
itu, seperti ayah dan kakeknya? Atau kekhawatiran itu tidak pernah ada?
Barangkali hidup seniscaya ombak, kadang landai kadang tinggi.
Pada hari libur, ketika laut tenang, teman-teman mengajak
kami, teman-teman perempuan, mancing di laut. Kami kembali sebelum sore, untuk
mempersiapkan acara bakar ikan. Rumah beberapa teman berada di tepian laut.
Jangan bayangkan laut Lamongan berpasir putih seperti brosur-brosur pariwisata.
Pasirnya hitam dan laut bersisian dengan karang. Tak ada nyiur melambai seperti
di lagu. Dan kami tak sungguh-sungguh menghargai senja. Kami terlalu sibuk
tertawa sampai-sampai ikan gosong karena kami lengah. Kadang ada gitar, lalu
kami nyanyi-nyanyi lagu Malaysia—selain melaut, bekerja di Malaysia adalah
profesi yang paling banyak dianut. Kalau tidak ada, kami cuma bicara-bicara
omong kosong sampai angin laut mengantarkan kantuk.
Pada bulan puasa, ada tradisi jalan-jalan seusai shalat
Shubuh. Lebih baik daripada tidur lagi, begitu pesan orang-orang tua. Kalau
malas jalan, remaja-remaja belia ini lebih memilih main di laut. Mumpung airnya
hangat. Konon, dapat menyembuhkan rematik pula. Tak heran, bersama kami, banyak
orang tua beredam. Sorenya, sembari menunggu buka, kami mencari udang.
Teman-temanku membisikkan satu taktik, kalau ada lubang mencurigakan, tusuk
dengan cumi yang dikeringkan. Kalau airnya muncrat, berarti di situ ada udang.
Entah kenapa aku tidak pernah berhasil memakai taktik ini.
Memilih jurusan karena nostalgia? Ah, masak sih aku
seceroboh itu. Lagipula, Semarang panas. Lalu aku memilih Jurusan Sastra
Indonesia Unpad karena... dingin dan aku belum pernah ke Bandung.
*Difoto @undurundur di Pantai Merah, Banyuwangi, 25 Desember 2015.