Klik Bila Perlu

Thursday, January 07, 2016

Pesisir

Setahun selepas SMA, aku baru akan kuliah. Banyak buku panduan cara menghadapi, waktu itu, UMPTN di toko buku. Tetapi tidak ada buku panduan jurusan apa yang cocok untukku. Tidak dari guru atau orang tua. Samar-samar bapak mengingatkan, cari jurusan yang nanti kerjanya gampang. Kebanyakan orang tua tentu berpikir demikian. Buat apa sekolah susah-susah kalau habis itu Cuma jadi pengangguran, balik lagi menyusahkan mereka.

Ketika mengisi formulir pendaftaran, jariku merunut semua jurusan yang tertera. Daftarnya panjang dan tulisannya kecil-kecil. Terpikir untuk mengambil jurusan desain interior. Karena aku suka, dan kedengerannya keren. Tetapi jariku baru benar-benar berhenti merunut ketika sampai pada Jurusan Oseanografi Undip. Ada jeda mengambang di udara. Sekian menit. Hmm, oseanografi. Asin layur dijemur menguar di udara. Rumah berbatu kumbung. Burung walet. Laki-laki menambal jaring di halaman. Semasa SMP, aku tinggal di pesisir Lamongan. Tak lama, cuma tiga tahun itu. SMP tuntas, aku pindah.

Oseanografi... Kenapa oseanografi? Karena oseanografi. Udara laut yang sejuk, sekaligus kering, familier dengan kulitku. Tapi nanti aku kerja apa? Sebagian teman-teman lelaki-ku berkulit legam, bukan karena mereka eksotis. Ketika ombak tidak terlalu berbahaya, mereka manyang, melaut, bersama ayah mereka. Mereka bolos sekolah. Apa mereka tidak khawatir kalau nilai sekolah buruk, mereka akan susah cari kerja? Atau mereka sudah tahu kalau pekerjaan masa depan ada di hamparan air keperakan itu, seperti ayah dan kakeknya? Atau kekhawatiran itu tidak pernah ada? Barangkali hidup seniscaya ombak, kadang landai kadang tinggi.

Pada hari libur, ketika laut tenang, teman-teman mengajak kami, teman-teman perempuan, mancing di laut. Kami kembali sebelum sore, untuk mempersiapkan acara bakar ikan. Rumah beberapa teman berada di tepian laut. Jangan bayangkan laut Lamongan berpasir putih seperti brosur-brosur pariwisata. Pasirnya hitam dan laut bersisian dengan karang. Tak ada nyiur melambai seperti di lagu. Dan kami tak sungguh-sungguh menghargai senja. Kami terlalu sibuk tertawa sampai-sampai ikan gosong karena kami lengah. Kadang ada gitar, lalu kami nyanyi-nyanyi lagu Malaysia—selain melaut, bekerja di Malaysia adalah profesi yang paling banyak dianut. Kalau tidak ada, kami cuma bicara-bicara omong kosong sampai angin laut mengantarkan kantuk.      

Pada bulan puasa, ada tradisi jalan-jalan seusai shalat Shubuh. Lebih baik daripada tidur lagi, begitu pesan orang-orang tua. Kalau malas jalan, remaja-remaja belia ini lebih memilih main di laut. Mumpung airnya hangat. Konon, dapat menyembuhkan rematik pula. Tak heran, bersama kami, banyak orang tua beredam. Sorenya, sembari menunggu buka, kami mencari udang. Teman-temanku membisikkan satu taktik, kalau ada lubang mencurigakan, tusuk dengan cumi yang dikeringkan. Kalau airnya muncrat, berarti di situ ada udang. Entah kenapa aku tidak pernah berhasil memakai taktik ini.


Memilih jurusan karena nostalgia? Ah, masak sih aku seceroboh itu. Lagipula, Semarang panas. Lalu aku memilih Jurusan Sastra Indonesia Unpad karena... dingin dan aku belum pernah ke Bandung. 

*Difoto @undurundur di Pantai Merah, Banyuwangi, 25 Desember 2015.     

Friday, July 18, 2014

Aku Si Pendusta

Pada salah satu cerpennya yang berjudul Di Sebuah Hutan Kecil[1], Ryunosuke Akutagawa menghadirkan sebuah peristiwa berdasarkan beberapa kesaksian. Ada kesaksian penebang kayu, bhiksu pengembara, polisi, perempuan tua, Tajomaru, dan seorang perempuan yang datang ke kuil Shimizu. Dengan enam kesaksian enam sudut pandang sama artinya terdapat enam pilar yang menyokong kisah tersebut. Karenanya pembaca tidak diharuskan percaya pada satu (Sang) narator saja dan karena kesaksian siapa yang paling benar bukan menjadi suatu hal yang terpenting.
Berbeda dengan Akutagawa, Seno Gumira Ajidarma untuk cerpennya Clara atawa Wanita yang Diperkosa[2] menjatuhkan pilihan point of view pada tipe lain, yaitu first-person central. Si “aku” menjadi tokoh utama dan fokus, pusat kesadaran, pusat cerita. Dia (si tokoh aku) mengisahkan peristiwa, tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam dirinya sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu di luar dirinya[3]. Dalam versi Novakovich, sudut pandang cerpen ini masuk dalam kategori narator orang-pertama yang tidak bisa dipercaya.
Maka cerita yang akan kau dengar ini bukan kalimatnya melainkan kalimatku. Sudah bertahun-tahun aku bertugas sebagai pembuat laporan dan hampir semua laporan itu tidak pernah sama dengan kenyataan. Aku sudah sangat ahli menyulap kenyataan yang pahit menjadi menyenangkan, dan sebaliknya perbuatan yang patriotik menjadi subversif—pokoknya selalu disesuaikan dengan kebutuhan. (Iblis tidak Pernah Mati [ITPM], hal. 70, penekanan dari penulis: 70)

Aku hampir-hampir terharu bahkan sebelum dia bercerita. (ITPM, hal. 69)

Mestinya aku terharu. Mestinya. Setidak-tidaknya aku bisa terharu kalau membaca roman picisan yang dijual di pinggir jalan. Tapi menjadi terharu tidak baik untuk seorang petugas seperti aku. (ITPM, hal. 74)

Pertama, si aku mengatakan hampir terharu padahal jelas-jelas dari ucapan-ucapannya selanjutnya yang (hanya bisa) dia ungkapkan dalam hati bahwa dia memang terharu[4].
…apa yang dialami dan dirasakannya seolah-olah tidak terkalimat-kan….Tidak pernah bisa kubayangkan bahwa manusia bisa mengalami beban penderitaan seberat itu justru karena dia lahir sebagai manusia. (ITPM, hal. 69-70)
Pada kutipan halaman 74, dia hanya mengatakan mestinya. Lagi-lagi si aku mengingkari perasaannya sendiri. Hal ini semakin mengukuhkan betapa sang narator adalah memang orang-pertama yang tidak bisa dipercaya. Atau bisa jadi ini adalah ketidakkonsistenan Seno menggambarkan tokohnya?

Kedua, si aku mengukur kesedihan yang dialami oleh Clara tidak lebih dramatis dari cerita dalam ‘roman picisan yang dijual di pinggir jalan’. Sedangkan sebelumnya dia menggumam—lagi-lagi hanya dalam hati—kan sebuah penderitaan yang beratnya tidak pernah bisa ia terbayangkan.
Dengan posisinya, narator jenis ini memang tidak ‘membiarkan’ kita mengecek kebenaran akan apa yang disampaikannya. Karena di sini ia adalah satu-satunya orang yang bercerita. Semua yang kita dapatkan adalah tafsiran atas penglihatan dari si aku.
Aku harus mencatat dengan rinci, obyektif, deskriptif, masih ditambah mencari tahu jangan-jangan ada maksud lain di belakangnya. Aku tidak boleh langsung percaya…. (ITPM, hal. 74, penekaan dari penulis)
Si aku yang mengaku dirinya objektif toh tetap dalam kerangka subjektivitas dirinya. Pemaknaan rangkaian kejadian dan tanda-ikon-simbol, semuanya berdasarkan perbendaharaan pengetahuan dan pengalamannya. Kita sebagai pembaca pun mungkin akan mengambil sikap yang sama dengannya; tidak boleh langsung percaya.
Rambutnya dicat merah. Coklat sebetulnya….padahal merah punya arti lain bagiku. Sudah bertahun-tahun aku dicekoki pikiran bahwa orang-orang merah adalah orang-orang berbahaya. (ITPM, hal. 69, penekaan dari penulis)
Doktrin yang melekat pada benaknya adalah merah yang berarti orang-orang yang berbahaya. Itu berkait juga dengan Clara yang dihadirkan dengan rambut merahnya yang dalam konteks cerita ini adalah kaum minoritas dari etnis tertentu yang divonis serakah, mengeksploitasi kekayaan pribumi[5] sehingga layak dianggap sebagai orang-orang yang berbahaya. Sedangkan Clara digambarkan sebagai manusia yang sama lahir dan besar di Indonesia, hanya saja (sialnya) matanya sipit.
Saya hanya tahu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris untuk urusan bisnis…saya tidak bisa bahasa Cina sama sekali dari dialek mana pun…saya cuma seorang wanita Cina yang lahir di Jakarta dan sejak kecil tenggelam dalam urusan dagang. (ITPM, hal. 76)
Akan tetapi, si aku adalah seseorang yang telah kehilangan eksistensi dirinya. Pendoktrinan-pendoktrinan yang dibenamkan pada benaknya itu menghidupkan perasaan tertekan, menjelmakan represi yang tumbuh menggerogoti—bahkan—penghargaan kepada dirinya sendiri. Dia melihat dirinya tak ubah hanya sebuah alat, sebuah robot. Pun seragamnya, dapat juga kita lihat sebagai belenggu suatu yang mengikat, satu bentuk penghilangan identitas.  
Sedangkan aku bukan subyek di sini. Aku cuma alat. Aku cuma robot. (ITPM, hal. 75)
Termasuk penyubur perasaan tertekannya adalah ambisinya; dia bercita-cita menjadi orang kaya dan karena harapannya itu tak jua tercapai maka kompensasinya dia membenci orang kaya. Di samping itu, rupanya Seno melengkapi si aku ini dengan sikap dan sifat segolongan orang yang telah memperkosa Clara—dia juga ingin memperkosanya—yaitu kebenciannya pada Cina.
Aku juga ingin kaya, tapi meskipun sudah memeras dan menerima sogokan di sana-sini, tetap begini-begini saja dan tidak pernah bisa kaya…aku memang punya sentimen kepada orang-orang kaya—apalagi kalau dia Cina. Aku benci sekali. (ITPM, hal. 77-78)
Clara sungguh representatif untuk dua hal: sesuatu yang sangat dia inginkan dan sesuatu yang sangat tidak dia inginkan; kaya dan Cina. Walaupun begitu toh dia tetap tidak bisa melaksanakan niatnya.
Barangkali aku seorang anjing. Barangkali aku seorang babi—tapi aku memakai seragam. Kau tidak akan pernah tahu siapa diriku sebenarnya. (ITPM, hal. 69)

Sudah kubilang tadi, barangkali aku seorang anjing, barangkali aku seorang babi—tapi aku mengenakan seragam. Kau tidak akan pernah tahu siapa diriku sebenarnya. (ITPM, hal 78-79)






[1] Akutagawa, Ryunosuke. 2003. Rashomon. Terjemahan Suparno. Jakarta: Akubaca.
[2] Lih. Seno Gumira Ajidarma, “Clara atawa Wanita yang Diperkosa ” dalam Iblis tidak Pernah Mati, Yogyakarta, Galang Press, 1999: 69-79.
[3] Lih. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Agustus 2000: 263.
[4] Teknik Ekspositori/teknik analitis; pelukisan tokoh yang dilakukan pengarang dengan deskripsi kediriannya berupa sikap, sifat, watak, dan sebagainya. (Burhan Nurgiyantoro, 2000: 195).
[5] Orang-orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai orang dengan suku bangsa asli Indonesia (?), lahir di Indonesia, ber-KTP WNI.

Thursday, July 17, 2014

Simile pada Cerpen “Teriakan di Pagi Buta”

Teriakan di Pagi Buta adalah salah satu cerita pendek yang terdapat pada kumpulan cerita pendek Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Dunia Sukab. Dalam cerpen ini dikisahkan seorang pemuda kampung bernama Mintuk kepincut pada keberhasilan Ngatiyo yang berjudi atas nasibnya di Jakarta. Ngatiyo yang berjaket tebal, rambut pendek klimis, sepatu kulit berujung lancip, tape recorder yang ditenteng ke mana-mana, dan kacamata hitam berkilat sampai-sampai bisa dipakai untuk becermin adalah cita-cita Mintuk.
Seperti apa Jakarta? Sang tokoh utama belum tahu pasti. Meskipun sering mendengar nama kota itu pada radio atau televisi pak lurah.
Perjalanan Mintuk ke Jakarta dimulai pada hari lebaran kedua.
Dalam bis itulah, dan dalam seribu bis yang lain, berjejal-jejal, berbondong-bondong,
berduyun-duyun bagai semut menuju madu ke arah Jakarta. (hal. 75)
Mintuk tidak sendiri. Ada banyak Mintuk yang mempunyai pendapat seragam; Jakarta memang surga.
Dini hari, bis yang dinaiki Mintuk sampai di terminal.
Seperti ayam masuk perangkap ular, bis itu berguncang memasuki stanplat. (hal. 79)
Pulo gadung memang seperti kalajengking raksasa kalau pagi masih gelap. (hal. 77)
Jakarta di depan mata Mintuk ternyata agak meleset dengan Jakarta yang ada dalam peta pikirannya. Bintang-bintang di langit sana masih sama saja dengan yang bertaburan di desanya. Bagaimanapun, Jakarta dipijaknya kini. Selanjutnya Mintuk tidak tahu hendak ke mana arah perjalanannya. Kemudian ia bertanya pada orang-orang yang ternyata adalah komplotan pencoleng terminal.
…agaknya komplotan ini seperti kawanan anjing kurus yang malihat cap cay di tengah 
padang pasir, menjilat piringnya sampai tandas tanpa sisa seperti baru dicuci kembali. (hal. 
81)
Mintuk yang lugu dan naif tidak menyadari dirinya menjadi sarapan buat penjahat-penjahat itu. Mendapati Mintuk seorang yang miskin, mereka kesal. Mintuk dikerjai habis-habisan hingga hanya tersisa celana dalam berwarna hijau muda bermerk Crocodile. Setelah puas menelanjangi Mintuk,
“…Ayo cepat! Lari! Haiya! Haiyaaaah!” Pamuji berteriak-teriak seperti menggebah angsa tolol. (hal. 83)
Mintuk yang senewen melesat dan mendarat di Tugu Selamat Datang. Lalu terdengar suara teriakan Tarzan yang membahana.
“HOOOOOOooooiiiiiiiiii yyaaaaaAAAAA iiiiiiiiiiyyyyy YYYYOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!!!!!”
***
Gorys Keraf dalam Diksi dan Gaya Bahasa menjelaskan bahwa dari sekian banyak gaya bahasa, salah satu di antaranya adalah simile, yaitu membandingkan satu hal dengan sesuatu yang lain. Simile bersifat eksplisit. Untuk itu memerlukan kata bantu yang menunjukkan kesamaan itu, misalnya seperti, bagaikan, laksana, dan sebagainya.
Dalam cerpen Teriakan di Pagi Buta, Seno banyak menggunakan gaya bahasa tersebut. Beberapa di antaranya membandingkan konteks cerita dengan binatang.
Dalam bis itulah, dan dalam seribu bis yang lain, berjejal-jejal, berbondong-bondong, 
berduyun-duyun bagai semut menuju madu ke arah Jakarta. (hal. 75) 
Semut adalah jenis binatang yang suka bergerombol, melakukan satu hal beramai-ramai. Rupanya isu surga pindah ke Jakarta menarik perhatian penduduk kampung yang bosan dengan keadaan desanya macam Mintuk. Tak ubahnya semut, penduduk kampung itu berbaris pergi ke Jakarta yang dipikirnya semanis madu.
Pulo gadung memang seperti kalajengking raksasa kalau pagi masih gelap. (hal. 77)
Sebagai binatang berbisa, kalajengking memang tepat dipilih menjadi pembanding terminal, apalagi terminal Pulo Gadung, apalagi kalau pagi masih gelap. Siapa pun yang apes, ia akan menambah hitungan korban sengatan di tempat pencopet, tukang todong, preman, calo, dan sejenisnya itu bersarang.
Seperti ayam masuk perangkap ular, bis itu berguncang memasuki stanplat. (hal. 79)
Bis itu berisi orang-orang kampung yang lugu seperti anak ayam namun tetap gigih dan berharapan besar akan nasib yang lebih baik atau setidaknya bertahan hidup. Dan ayam selalu merupakan makanan yang lezat bagi sang ular yang akan mematuk atau melilitnya sampai remuk tulang-tulang. Stanplat sebagai gerbang terminal adalah gerbang juga bagi si ayam kampung untuk memulai mewaspadakan setiap langkah dan barang miliknya. Karena kalau tidak, tahu-tahu ia akan berada di perut ular.
…agaknya komplotan ini seperti kawanan anjing kurus yang melihat cap cay di tengah padang pasir, menjilat piringnya sampai tandas tanpa sisa seperti baru dicuci kembali. (hal. 81)
Ngadul, Pamuji, dan Warno adalah komplotan yang dimaksud seperti kawanan anjing kurus di atas. Melihat Mintuk yang baru melek akan kota Jakarta sebenarnya adalah hal yang biasa, karena mereka bertiga tinggal di terminal dan setiap hari menyaksikan ribuan bahkan lebih orang-orang udik yang berdatangan ke Jakarta. Akan tetapi, Mintuk yang menjadi mangsanya kali ini adalah gembel melarat yang untuk pergi ke Jakarta saja harus patungan dengan seluruh penduduk desa. Kecewa dengan hasil yang didapatnya, mereka sepakat mengerjai Mintuk.
Pamuji berteriak-teriak seperti menggebah angsa tolol. (hal. 83)
Tak ada ampun buat gembel Mintuk. Setelah dihabisi hartanya dan ditelanjangi, Mintuk malang disuruh pergi seperti angsa, binatang yang pada kalimat sebelumnya diceritakan bagaimana Mintuk diakhiri dengan suara teriakan tarzan yang membahana.

“HOOOOOOooooiiiiiiiiii yyaaaaaAAAAA iiiiiiiiiiyyyyy YYYYOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!!!!!”